Popular posts

Archive for February 2014

Rasulullah dan Seorang Tukang Batu

Thursday, February 13, 2014


Bismillahirrahmaanirrahiim
Diriwayatkan pada saat itu
Rasulullah baru tiba dari Tabuk,
peperangan dengan bangsa
Romawi yang kerap menebar
ancaman pada kaum muslimin.
Banyak sahabat yang ikut
beserta Nabi dalam peperangan
ini. Tidak ada yang tertinggal
kecuali orang-orang yang
berhalangan dan ada uzur.
Saat mendekati kota Madinah, di
salah satu sudut jalan,
Rasulullah berjumpa dengan
seorang tukang batu. Ketika itu
Rasulullah melihat tangan buruh
tukang batu tersebut melepuh,
kulitnya merah kehitam-hitaman
seperti terpanggang matahari.
Sang manusia Agung itupun
bertanya, “Kenapa tanganmu
kasar sekali?"
Si tukang batu menjawab, "Ya
Rasulullah, pekerjaan saya ini
membelah batu setiap hari, dan
belahan batu itu saya jual ke
pasar, lalu hasilnya saya
gunakan untuk memberi nafkah
keluarga saya, karena itulah
tangan saya kasar."
Rasulullah adalah manusia
paling mulia, tetapi orang yang
paling mulia tersebut begitu
melihat tangan si tukang batu
yang kasar karena mencari
nafkah yang halal, Rasulpun
menggenggam tangan itu, dan
menciumnya seraya bersabda,
"Hadzihi yadun la tamatsaha
narun abada", 'inilah tangan
yang tidak akan pernah disentuh
oleh api neraka selama-
lamanya'.
***
Rasulullah tidak pernah
mencium tangan para Pemimpin
Quraisy, tangan para Pemimpin
Khabilah, Raja atau siapapun.
Sejarah mencatat hanya putrinya
Fatimah Az Zahra dan tukang
batu itulah yang pernah dicium
oleh Rasulullah. Padahal tangan
tukang batu yang dicium oleh
Rasulullah justru tangan yang
telapaknya melepuh dan kasar,
kapalan, karena membelah batu
dan karena kerja keras.
Subhanallah, alangkah mulianya sayyidina

Pesan Imam Al Ghazali


1.Apabila berjumpa kanak-kanak
anggaplah mereka lebih mulia daripada
kita kerana mereka belum dibebani
dengan dosa.
2.Apabila berjumpa dengan orang tua,
anggaplah mereka lebih mulia daripada
kita kerana mereka lebih lama
beribadah dari kita.
3.Apabila berjumpa orang Alim,
anggaplah dia lebih mulia dari kita
kerana banyaknya ilmu didadanya.
4.Apabila berjumpa orang jahil
anggaplah mereka lebih mulia daripada
kita kerana mereka melakukan dosa
dalam kejahilan sedang kita melakukan
dosa dalam keadaan mengetahui.
5.Apabila berjumpa orang jahat jangan
anggap kita mulia sebaliknya berkata
mungkin orang itu akan bertaubat
pada masa tuanya sedangkan kita
belum tahu bagaimana pengakhiran
hidup kita.
6.Apabila berjumpa orang kafir katakan
belum tentu dia akan kafir selama-
lamanya.

Belajar Pada Uwais Al Qornie

Tuesday, February 11, 2014

Hari ini kita harus belajar banyak pada Uwais al-Qornie (w. 657 M). Belajar untuk tetap yakin bahwa Allah
SWT pasti akan membalas sekecil apa pun kebaikan kita, meski sepi dari apresiasi manusia.

Sosok sejarah ini teramat agung di mata Allah dan Rasul-Nya. Buah keikhlasan dan kesabarannya, Allah SWT menyilahkan sebelum beliau masuk surga nanti untuk memberi syafaat kepada dua kaumnya dan Nabi menyebutnya sebagai orang yang sangat terkenal di Langit meski tidak dikenal di bumi.

Sosok tabi’in mulia ini sebenarnya hidup di masa Rasulullah SAW namun karena tidak berjumpa dengan beliau, maka bukan berkategori shahabat.

Definisi shahabat dalam Ilmu Hadits adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah SAW, beriman kepadanya dan pernah berjumpa atau melihat meski sekali wajah Rasulullah SAW.

Uwais, pemuda asal Qaran, Yaman ini hari itu berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke pasar ternak. Ibunya yang sudah sepuh dan lumpuh memberinya restu.

Di salah satu sudut pasar pemuda bersuku Muraad ini membeli lembu atau kerbau yang masih kecil.  Setelah deal harga, lelaki berwajah belang karena penyakit sopak ini membawanya pulang dengan memanggulnya.

Hari-hari Uwais yang dikenal sebagai penggembala kambing ini kini dilaluinya dengan aktivitas yang aneh.
Setiap pagi dan sore, Uwais menggedong lembunya dari rumah menuju bukit yang ia buatkan kandang di atasnya.

Jelas saja, aktivitas nyeleneh ini hanya menambah daftar cemoohan orang kepadanya yang memang bagi Uwais sendiri adalah menu akrab sejak sepeninggal ayahnya, Amir ibn Juz ibn Muraad al-Qairani.

Lebih-lebih setelah dirinya mengidap penyakit sopak yang membelangkan tubuhnya. Panggilan gila sering mampir di telinganya.

Kini sehari-hari Uwais memanggul lembu dari rumah ke bukit. Dinikmatinya setiap ejekan tetangga, karena dalam benaknya hanya satu; fisik beliau semakin hari semakin kuat hingga jelang bulan haji ia bisa menggendong sang ibu untuk berangkat menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Bakkah atau Makkah.

Rupanya ini jawabannya; ia membeli lembu kecil dan lalu memanggulya setiap hari adalah dalam rangka melatih fisiknya supaya terbiasa dan kuat saat bulan haji nanti tiba.

Sejak ibunya yang buta dan lumpuh itu menyampaikan hasrat hatinya ingin berangkat haji, Uwais hanya bisa memaku-merenung.

Dirinya bukan orang berpunya; hasil gembala kambing habis hanya untuk makan dirinya dan ibunya di hari itu. Sementara dirinya teramat ingin membahagiakan sang ibu. Sehingga tercetuslah ide membeli lembu.

Kini bobot lembu sudah mencapai 100 kg, dan aktivitas nyeleneh ini pun disudahinya. Dan di pagi itu Uwais merapat kepada sang bunda. “Ibu, mari kita berangkat haji” “Dengan apa, Nak! Mana ada bekal untuk ke sana.”
Sahut sang ibu dengan raut kaget.

”Mari, Bu. Aku gendong ibu. Perbekalan insya Allah cukup. Jatah makanku selalu aku tabung. Fisik ini insya
Allah sudah cukup kuat,” ujar Uwais meyakinkan sang ibu.

Sang ibu hanya bisa memburai air mata. Dan pagi itu Uwais sang anak shaleh ini menyaruk kaki, melintasi
sahara panas dengan menggendong sang ibu tercinta.

Berminggu-minggu ia lewati perjalanan mission impossible sejauh 600 km ini dengan penuh ikhlas dan sabar. 

Sampai akhirnya Ka’bah pun sudah berada persis di depan matanya. Mereka berdua pun akhirnya berhaji,
menyempurnakan keberislaman mereka.

Allahu Akbar. Perjuangan yang berbuah manis. Benarlah janji Allah, setiap kebaikan sekecil apa pun kebaikan itu pasti akan ada balasannya dari Allah. Sungguh setiap langkah Uwais telah menggetarkan langit.

Pantaslah para malaikat terkesima dan membalas tasbih tak henti. Bakti yang luar biasa dan amal kebaikan yang tak bertepi dari Uwais mengangkat diri beliau sebagai sosok yang sangat masyhur di seantero langit. 

Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib pernah diminta Rasulullah untuk memintakan doa kepada Uwais al-
Qornie. Karena doanya tidak berpenghalang dan pasti diijabah. Bagaimana dengan kita, siapkah belajar
kepadanya? Insya Allah.

[Oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/10/24/mv6hbz-belajar-pada-uwais-alqornie]

"Jika engkau orang yg selalu berbuat taat dan kebaikan,kemudian engkau terjerumus pada suatu dosa dan kesalahan,maka janganlah putus asa dan jgn terlalu memikirkannya,itu adlh cobaan dari allah,yg ingin memberi tahu dirimu akan kelemahanmu dan kehinaanmu di hadapan-Nya,yg menginginkanmu tuk selalu meminta dan berharap kpd-Nya..jgn biarkan dirimu terpuruk oleh kesalahan dan dosa dosamu,tetaplah melangkah kedepan,didepanmu ada tangga menuju allah,.menujulah kpd allah meskipun dgn keadaan terpincang-pincang"(habib umar bin hafidz/ma'alim adduat hal 14)

Keep on shalawat
Jangan bosan

Sungguh, dlm jln takdir yg bgtu lengkap dgn segala peluang dan perangkap,.dgn semua cerita duka dan tawa pelengkap,.Kadang bgtu saja hinggap, rasa perih yg meresap,.dlm ktidakberdayaan yg merayap,.dlm diam tapi mnggetarkan syaraf..mlukis  ribuan senyap mnjadi wujud2 harap,.membaitkan setiap doa jd rindu yg meratap ratap,.hingga seringkali menahan mata utk lelap..mengusir lelah keluar dr setiap atap..bahkan mengulang khilaf dan khilaf..sambil trus truntai prmohonan ampun dan maaf..!!
andai rasa sperti ini, Dia hadirkan di hatiku hanya utkmu,. Dia datangkan lengkap dgn namamu..wahai Engkau yg terpantas utk dicinta tuntas.. Wahai yg menyayangiku bahkan sebelum bertemu.. Wahai Rosuulalloh..wahai Rosuululloh..wahai Muhammad bin abdulloh..

#sahabatshalawat

Anak Kecil, Sandal, dan Imam Abu Hanifah

Suatu hari imam abu hanifah bertemu dgn seorang bocah miskin yg memakai sendal kayu lalu beliau berkata kepada anak kecil itu,,,hati2 menggunakan sendal kayu itu nanti kamu bsa terpeleset ,,lalu anak kecil itu bertanya siapakah nama anda???,,lalu beliau menjawab namaku adalah nuam (nama imam abu hanifah),,,lalu anak kecil itu berkata,,,ohh jadi engkau yg d sebut org2 imam adzom (agung),,,lalu abu hanifa h menjawab: itu hanya gelar yg d berikan masyarakat saja,,,lalu anak kecil itu berkata: hati2 dgn gelarmu itu,,klo sendal ini hanya membuatku tergelincir di dunia,akan tetapi gelarmu itu bsa menggelincirkanmu di dunia maupun d akhirat,,,sketika itu imam abu hanifah menangis sejadi-jadinya

Sahabat Shalawat

Suku Mauritaniyyah Mengajarkan Nikmatnya Menuntut Ilmu

Suatu waktu aku berbincang dengan Ustadz Abdullah Zaidi dan ia bercerita kepadaku...

"Anta tau tidak kalau ada satu suku yang sangat disegani oleh masyaikh saudi, namun berasal dari luar as su'udiyyah?"

"Suku apa itu ustadz?"

"Pernah dengar mauritaniyyah?"

"Belum ustadz, kenapa mereka disegani ustadz?"

"Karena kebiasaan mereka dalam menuntut 'ilmu yang sangat luar biasa... jika ada seorang anak kecil disana berumur 7 tahun belum hafal qur'an itu akan sangat memalukan kedua orangtuanya... bahkan 7 dari 13 doktor di mediu berasal dari mauritaniyyah."

"Masya Allah, bagaimana sistem pengajaran mereka?

"Pertanyaan anta jamil... memang kita bukan hanya harus takjub, tapi kita harus meniru sistem yang mereka gunakan. jadi begini akhi...
mereka itu mendapatkan pendidikan al qur'an bukan hanya sejak kecil, tapi sejak BAYI...
ketika ada seorang ibu hamil, dia tidak akan menghabiskan waktu hanya tidur di kasur. ibu tersebut akan menyibukkan diri untuk muroja'ah hafalannya... hingga ibu itu terasa letih karenanya...
setelah bayi itu lahir, keluarga yang akan muroja'ah... misalkan seorang anak akan muroja'ah kepada bapak atau ibunya, maka DIWAJIBKAN untuk dia muroja'ah di depan adiknya yang masih bayi pula...
jadi ketika ibunya sedang menggendong bayi tersebut, kakaknya muroja'ah kepada ibunya... kalaupun suara tangis bayi mengganggu kakaknya ya itulah tantangan untuk anak tersebut..."

"Masya Allah, lalu sistem ketika menginjak remaja gimana ustadz?"

"Ahsanta, ketika mereka berusia 7 tahun ke atas, mereka akan pergi kepada masyaikh untuk belajar agama. mereka tidak belajar di dalam kelas... jadi para masyaikh setempat membuat tenda di tengah gurun, dan di dalam tenda itulah proses belajar mengajar dilakukan... mungkin dalam fikiran kita menyakitkan karena panasnya. namun itu nikmat untuk mereka karena rasa ingin tau yang tinggi pada diri mereka menjadikan SEDIKIT 'ILMU adalah NIKMAT DAN RIZQI YANG MELIMPAH UNTUK MEREKA, BUKAN HARTA...!!!"

"Masya Allah Masya Allah Yaa Ustadz..."

"Na'am, ketika syaikh tersebut berkata, "istami'..." maka semuanya menatap syaikh tersebut dan menyimak dengan seksama. tidak ada yang berani menulis bahkan bermain pulpen, karena akan dimarahi... setelah syaikhnya menerangkan panjang lebar barulah mereka menulis... mereka menulispun juga bukan di selembar kertas. mereka menulis di batu, daun, kulit pohon atau sejenisnya yang mereka bawa dari rumah, kenapa tidak pakai kertas? karena memang itu dilarang, dan mereka hanya membawa selembar... setelah mereka menulis maka tulisan mereka yang berasal dari ingatan mereka itu ditunjukkan ke syaikh, kalau ada kesalahan maka akan dikembalikan untuk dibetulkan hingga semua santrinya menuliskan semua yang diucapkan syaikh... itu menunjukkan SYAIKH TERSEBUT HAFAL APA YANG DIUCAPKAN.
Masya Allah... Ketika semua santrinya telah menuliskan dengan benar maka syaikh memerintahkan untuk dihapus..."

"Dihapus ustadz? lalu mereka tidak punya catatan pelajaran hari itu dong?"

"Laa yaa akhi, ketika semuanya sudah benar itu menunjukkan pelajaran yang disampaikan oleh syaikh sudah HAFAL DI LUAR KEPALA. Jadi catatan mereka ya ingatan mereka itu... Setelah semuanya benar dan telah dihapus, maka syaikh melanjutkan pelajarannya... begitu seterusnya sampai pelajaran di hari itu habis. Setelah mereka pulang ke rumah, barulah apa yang mereka INGAT mereka tulis ulang dalam buku-buku mereka...
Di usia 17 tahun, mereka sudah bisa mengeluarkan fatwa, yang berarti mereka sudah menjadi MUFTI..."

"Masya Allah, merinding ana ustadz..."

"Jamil... Dulu ketika ana di lipia ada cerita menarik, dosen ana ketika ingin mencari atau mengingat-ingat sebuah hadits maka beliau bertanya kepada temannya yang masih berstatus mahasiswa S2, karena apa?
Karena ikhwan ini sudah hafal kutubus sittah, bulughul marom, shohihain, dan sekarang sedang menghafal musnad imam ahmad dan sudah hafal 2/3 nya... anta tau kan kitab-kitab tersebut tebalnya seperti apa? itu hanya masih tebalnya, belum isi dari kitab tersebut... BERAPA BANYAK HADITS YANG TERDAPAT DI KITAB ITU? Masya Allah.

Dan yang akan lebih mengherankan anta adalah, MEREKA BUKAN HANYA HAFAL MATAN HADITSNYA... NAMUN SAMPAI KE RIJALUL HADITS, PERAWI INI LAHIR TAHUN SEKIAN, MENINGGAL TAHUN SEKIAN, MENGAMBIL HADITS DARI SIAPA SAJA, DINYATAKAN TSIQAH ATAU TIDAK OLEH 'ULAMA, HINGGA DIA BISA MENENTUKAN SENDIRI SANAD HADITS TERSEBUT SHAHIH ATAU TIDAK TANPA MENCATUT PERKATAAN SEORANG MUHADDITS SEPERTI SYAIKH ALBANI KALAU HADITS TERSEBUT SHAHIH..."

"Masya Allah, merasa tidak punya apa-apa ustadz ketika menyadari di belahan bumi lain ada yang mempelajari agama hingga seperti itu..."

"Na'am, ana pun demikian... kalau anta ingat, ustadz erwandi tarmidzi pernah bilang seperti ini. "Janganlah kalian bangga ketika sudah hafal al qur'an, karena memang itu belum ada apa-apanya di kalangan penuntut 'ilmu, dan janganlah kalian bangga ketika sudah hafal hadits arbain, karena itu sudah sangat lazim di kalangan penuntut 'ilmu, janganlah kalian menjadi sombong dengan sedikitnya 'ilmu yang kalian miliki... karena bukannya 'ilmu itu akan bertambah malah bisa jadi akan berkurang. hafal qur'an hanyalah pintu untuk antum memasuki dunia para 'ulama, hadits arbain hanyalah dasar pijakan pertama antum memasuki dunia para 'ulama, namun kalian belum pantas disebut 'ulama..."

"Masya Allah, banyak faidah dari obrolan ini ustadz..."

"Jamil, makna dari zuhud itu apa? Al Faqir Wal Masakin kah? atau seperti apa menurut anta?"

"Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang ditanya ustadz..."

"Ahsanta, Barakallahu fiik, zuhud adalah ketika kita mampu meninggalkan apa-apa saja yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, al mislu: nonton YKS bermanfaat tidak untuk kehidupan akhirat kita?"

"Tidak ustadz."

"Jamil, maka tinggalkanlah hal yang serupa dengan itu dalam urusan duniawi kita kalau tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita... itulah zuhud."

"Ahsanta, lalu kenapa 'ulama dari mauritaniyyah tidak terkenal ustadz?"

"Karena kebiasaan mereka... mereka lebih disibukkan untuk belajar dan mengajar. Tidak ada yang namanya safari dakwah atau khuruj ke suatu tempat dan yang semisalnya... kalau kita butuh beliau, ya kita yang mengunjungi beliau... sebenarnya banyak 'ulama dari mauritaniyyah, coba saja cari 'ulama yang berakhiran 'as sinqithi'. Mereka adalah hasil didikan adat menuntut 'ilmu ala mauritaniyyah..."
"Syukran atas tadzkirahnya ustadz."
"'Afwan, sebenarnya ana juga sedang muhasabah diri, kalau diri kita belum dididik dengan sistem seperti itu, berarti tugas kita untuk mendidik anak cucu kita dengan sistem yang mereka miliki..."

Adzan Terakhir Sahabat Bilal

Sunday, February 9, 2014

Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengumandangkan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas. Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
 
Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan. 
 
Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal  jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.
 
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa mendekati nya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.
 
Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.
 
Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.

Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya derajat dirinya terangkat begitu tinggi...

Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin Rabah Ra.
Aamiin...
Semoga bermanfaat dan Salam Ukhuwah 